Cari

this my BLOG

Kamis, 05 April 2012

LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI



LAJU MUTASI
          Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu laju mutasi dan frekuensi mutasi. Laju mutasi menggambarkan peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari waktu; sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi tertentu pada suat macam populasi sel atau populasi individu. (Russel, 1992).
            Pada umumnya laju mutasi yang teramati rendah, demikian pula mutasi spontan jarang terjadi. Hal ini didasarkan  ada mutasi yang dampaknya teramati atau terdeteksi, dan sama sekali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak teramati atau tidak terdeteksi, apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki.
            Pengukuran frekuensi mutasi kedepan berkisar sekitar 10-7 hingga 10-10  mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan nukleotida per generasi, demikian  pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan berkisar sekitar 10-10  hingga 10-9  mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan per generasi.

            Selain hal di atas, laju mutasi dan frekuensi mutasi ada juga yang di dasarkan pada mutasi yang dampaknya tidak terdeteksi. Sebenarnya ada lebih banyak mutasi yang terjadi daripada yang benar-benar terdeteksi, jika sebagian besarnya tidak diperbaiki. Pengukuran laju mutasi yang lebih tinggi Pengukuran laju mutasi yang lebih mudah pada bakteri dan fag  tersebut disebabkan karena kromosom kelompok-kelompok makhluk itu tergolong monoploid, dan dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi.
            Kebanyakan penelitian tentang mutasi pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi sudah tidak lagi berhubungan dengan mutasi gen tunggal karena sangat jarang. Yang dilakukan adalah pengkajian mutasi seluruh kromosom. H.J Muller merancang suatu cara cepat dan mudah untuk mempelajari mutasi. Cara itu diterapkan untuk memeriksa mutasi letal yang terpaut kromosom kelamin pada sperma  Drosophila. Untuk itu dirakit kromosom kelamin X yang disebut kromosom X Muller-5. Kromosom X tersebut diberi penanda mutan Bar  (Bar) yang semidominan dan mutan apricot (wa) yang resesif. Kromosom tersebut juga sudah diupayakan sehingga mengalami inverse untuk menekan peristiwa pindah silang.
DETEKSI MUTASI
Deteksi Mutasi pada Bakteri dan Jamur
            Deteksi mutasi pada bakteri dan jamur sangat bergantung pada suatu system seleksi yang mudah memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Contohnya, deteksi mutasi nutrisional pada jamur Neuspora crassa. Jamur ini bersifat monoploid (haploid) pada vase vegetative. Oleh karena itu deteksi mutasi lebih mudah dilakukan dibanding pada vase generative.
            Konidia monoploid yang mengandung suatu mutan dapat dideteksi dan diisolasi atas dasar kegagalannya tumbuh pada suatu medium lengkap. Setelah itu, senyawa yang hilang dapat ditetapkan melalui upaya menumbuhkan strain mutan pada sederet tabung yang masing-masing mengandung medium minimum yang diberi suplemen sesuatu senyawa.
Deteksi Mutasi pada Drosophila
            Teknik yang digunakan untuk mendeteksi mutasi pada Drosophila  salah satunya adalah teknik Muller-5 atau disebut juga teknik CIB. C adalah suatu inversiyang menekan peristiwa pindah silang, I adalah suatu alela letal resesif, sedangkan B adalah suatu duplikasi gen yang memunculkan mata Ba-.
            Teknik lain yang dikembangkan adalah teknik kromosom X berlekatan. Pada teknik ini digunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan.teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi yang resesif bahkan lebih sederhana, karena hanya satu generasi yang dibutuhkan. Induk jantan yang sudah mendapat perlakuan dengan sesuatu agen mutasi, akan menghasilkan keturunan jantan (turunan I) yang mengekspresikan sesuatu gen mutan resesif terpaut kromosom kelamin X hasil perlakuan mutasi sebelumnya.          
Deteksi Mutasi Pada Tumbuhan Tinggi
            Banyak variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat di deteksi secara sederhanan dengan melakukan pengamatan visual. Selain dengan cara tersebut, bisa dilakukan dengan cara lain, yaitu yang pertama adalah melalui analisis komposisi biokimia. Untuk cara yang pertama ini bisa dilihat pada isolasi protein dari endosperm jagung, hidrolisis protein tersebut, serta penetapan komposisi asam amino sudah menunjukkan bahwa dibanding galur-galur bukan mutan, mutan opaque 2 mengandung lebih banyak lisin. Selanjutnya cara yang kedua adalah dengan melibatakan proses kultur jaringan galur-galur sel tumbuhan pada medium yang sudah ditentukan. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai mikroorganisme kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menanambah medium kultur. Keuntungan yang dimiliki oleh cara kedua ini, yaitu karena teknik teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-sel tumbuhan pada kultur jaringan. Selain itu teknik ini juga merupakan suatu sistem deteksi yang umumnya tidak bermanfaat dalam hubungan dengan tumbuhan utuh.
Deteksi Mutasi pada Manusia
            Deteksi mutasi manusia berkaitan dengan sifat ataupun kelainan tertentu yang dilakukan dengan bantuan analisis silsilah. Hal ini dilakukan sejauh mungkin segera setelah suatu sifat dipastikan menurun dan dilanjutkan dengan meramalkan apakah alela mutan itu terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom. Mutasi yang paling mudah dideteksi adalah mutasi yang dominan. Jika gen mutan dominan tersebut terdapat pada kromosom kelamin X maka seorang ayah yang tergolong penderita akan mewariskan cirri fenotip terkait kepada semua anak perempuannya. Namun, sebaliknya jika gen mutan domonan itu terpaut autosom, maka 50% anak (yang berasal dari orang tua heterozigot) diharapkan mewarisi ciri mutan itu.
            Mutasi resesif yang terpaut kromosom kelamin dapat juga dapat dibantu dengan analisis silsilah. Misalnya, mutan resesif terpaut kromosom manusia adalah yang mengekspresi kelamin hemofili. Salah satu contoh analisis silsilah mutan resesif terpaut kromosom kelamin yang menjadi latar belakang hemofili adalah analisis silsilah hemofili pada turunan Ratu Victoria dari Inggris.
Alela-alela mutan resesif  yang terpaut autosom dapat juga dideteksi melalui analisis silsilah. Sifat fenotip yang berlatar belakang genetik semacam ini biasaanya muncul sebentar-sebentar sejumlah generasi. Seperti diketahui ekspresi fenotip bila yang terpaut autosom “tidak terpaut” pada kondisi heterozigot. Seorang individu pengidap kelainan terkait yang kawin dengan seorang normal heterozigot hanya menghasilkan turunan carrier (bukan pengidap), sedang perkawinan antara dua orang yang sama-sama carrier  akan menghasilkan rata-rata 25% turunan yang tergolong pengidap. Selain melalui uji analisis silsilah, deteksi mutasi pada manusi juga dilakukan melalui analisi in vitro. Hal ini dapat di dasarkan pada analisis aktivitas enzim, migrasi protein pada medan elektroforetik, serta pengurutan langsung protein maupun DNA.
Uji Ames
            Telah menjadi pembahsan yang menarik tentang apakah pengaruh bahan-bahan kimia yang masuk dalam tubuh terhadap agen mutasi. Seperti diketahui bahwa senyawa-senyawa kimia tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pencernaan, atau saluran pernapasan. Bekenaan dengan hal ini banyak perhatian antara lain diberikan kepada materi residu polusi udara maupun polusi air, pengawet makanan maupun bahan-bahan aditif, pemanis buatan, herbisida, serta produk farmasi. Pengujian peluang suatu senyawa yang masuk ke dalam tubuh seperti yang dimaksudkan menjadi agen mutasi, dilakukan antara lain dengan bantuan teknik Muller 5 maupun uji Ames. Teknik Muller 5 sudah dikemukakan, sedangkan uji Ames akan dikemukakakan lebih lanjut.
            Uji Ames dikembangkan oleh Bruce Ames pda awal tahun 1970-an. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bakteri Salomonella typhimurium sebagai organisme uji. Digunakan dua strain dari bakteri tersebut yang keduanya tergolong auksotrofik untuk histidin. Dengan demikian strain tersebut membutuhkan tambahan histidin dalam medium pertumbuhan agar dapat hidup. Dari dua strain tersebut, pada salah satu strain mutan his dapt dikembalikan menjadi his+ oleh suatu mutasi pergantian basa, sedang pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan menjadi his+ oleh suatu pengubah rangka. Kedua strain itu juga memiliki mutan-mutan lain yang semakin memungkinkkan semakin tepat untuk memanipulasi eksperimental. Mutan-mutan lain itu yang misalnya menyebabkan semakin sensitive terhadap mutagenesis akibat aktivasi sistem perbaikan, serta yang menyebabkan sel semakin permeable terhadap molekul orgainik asing.
            Pada uji Ames dilakukan sentrifugasi terhadap hati tikus yang sebelumnya sudah dihancurkan agar pecahan-pecahan sel mengendap. Selanjutnya enzim dari hati tikus tersebut diambil dari super muatan yang ditambahkan pada suatu kultur cair S. typhimurium  yang tergolong auksotrofik bersama-sama dengan senyawa kimia yang sedang diuji. Dalam hubungan ini dirancang pula suatu eksperimen control yang tidak melibatkan senyawa kimia yang sedang diuji.
            Berkaitan dengan enzim yang terdapat pada hati tikus tersebut, uji Ames berdasarkan padakenyataan bahwa makhluk hidup, misalnya pada manusia, enzim hati berkemampuan untuk mengurangi daya toksisitas, serta pada kasus-kasus tertentu sebenarnya berkemampuan menambah daya toksisitas berbagai senyawa kimia termasuk banyak mutagen potensial. Dalm hal ini penggunaan enzim itu memungkinkan orang untuk menetapkan apakah sesuatu senyawa kimia itu sebenarnya tidak bersifat mutagen jika diproses di dalam hati.
            Revertan-revertan strain S. typhimurium yang diberikan dapat berupa his+. Revertan his+ ini memang dapat diketahui karena dapat memebantu memebentuk koloni medium yang tidak mengandung histidin. Dalam hubungan ini jika revertan his+ ditemukan pada cawan yang berisi campuran senyawa kimia yang diuji dibanding pada cawan control, maka senyawa-senyawa tersebut adalah suatu agen mutasi (mutagenic). Dalam hal ini jumlah kalori yang tumbuh pada cawan control menunjukkan laju reverse spontan pada bakteri yang diuji. Lebih lanjut jika lebih banyak kalori ditemukan pada cawan-cawan eksperimental, hal itu menunjukkan bahwa senyawa kimia itu menginduksi mutasi. Akan tetapi apakah semyawa itu merupakan suatu karsinigenik atau bukan, hal itu tidak dapat dipastikan melalui uji Ames. Pada saat ini uji Ames sudah berhasil mengidentifikasi sejumlah agen besar mutasi dari antara berbagai swenyawa kimia di lingkungan kita, seperti zat aditif pewarna rambut, kloroda vinil, pewarna makanan tertentu, dan berbagai senyawa alami.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...